Welcome To Our Blog :) This blog Contents All About Medical Check Up

Selasa, 06 November 2012

KERUGIAN MEDICAL CHECK UP


Sesungguhnya apakah medical checkup ini perlu dilakukan oleh semua orang, termasuk mereka yang sehat? Menganalogikan checkup medis ini seperti tune-upmobil berkala agar memiliki performa yang andal sebenarnya merupakan cara berpikir yang naif. Medical checkup jauh lebih complicated daripada ‘servis mobil’ ini. Ada banyak parameter di dalamnya, seperti jenis-jenis checkup yang perlu, faktor usia, faktor jenis kelamin, faktor keturunan (family history) dan faktor resiko perorangan (personal risk factor). Juga penentuan pada usia berapa checkup ini dilakukan (di atas 40 tahun, di atas 50 tahun) serta jangka waktunya (dua tahun, tiga tahun, lima tahun sekali). Jadi tidak boleh dijadikan semacam ‘paket’ all size yang diberlakukan pada semua orang.Ada kesepakatan dari otoritas kesehatan bahwa beberapa jenis medical checkupdapat dilakukan pada kelompok usia tertentu. Diantaranya adalah pemeriksaantekanan darah (hipertensi merupakan resiko utama penyakit jantung koroner, stroke, penyakit ginjal dan serangan jantung), kolesterol, pada pria usia 35-65 tahun dan wanita 45-65 tahun (kolesterol yang tinggi merupakan faktor resiko penyakit jantung), skrining colorectal cancer (kanker usus besar) pada orang di atas 50 tahun,mammogram (rontgen untuk mendeteksi adanya kanker payudara) pada wanita usia 50-69 tahun, setiap dua tahun sekali, Pap smear (tes untuk mendeteksi kanker leher rahim) pada wanita yang aktif secara seksual setiap tiga tahun sekali.


Namun di zaman yang sangat komersial dan profit oriented sekarang ini, sering orang digiring untuk melakukan medical checkup yang sesungguhnya tidak diperlukan dan mubazir. Kita diharuskan melakukan tes darah lengkap (yang begitu banyaknya), tes urine lengkap, pemeriksaan EKG (elektro-kardiogram), USG (ultrasonography), ditambah lagi dengan MRI (magnetic resonance imaging) yang sesungguhnya hanya pemborosan waktu dan uang dan tidak bernilai untuk pencegahan penyakit. Lantas apa dasar dokter menganjurkan dilakukan tes-tes ini? Tak dapat dimungkiri bahwa ranah kesehatan sudah dirasuki dengan ‘pertimbangan dagang’ (business-oriented), sehingga dokter pun mempunyai ‘kewajiban’ untuk mempromosikan tes medis yang tak perlu ini. Bahkan dari data terlihat bahwa uang yang berhasil diraup dari skrining medis orang-orang sehat ini jauh lebih besar daripada pemasukan merawat orang sakit.


Namun kerugian akibat medical checkup yang berlebihan ini bukan semata-mata pemborosan uang dari masyarakat. Ada akibat lain yang lebih buruk dari itu. Banyak dari test-tes ini mengeluarkan hasil false positive (positif semu). Efek bagi orang yang mendapat vonis positif (padahal false positive) jelas membuat yang bersangkutan cemas dan stres, dan membawa akibat berantai untuk dilakukannya sejumlah tes lanjutan untuk memastikan hasil tes yang ‘abnormal’ tadi. Ambillah contoh tes mammogram. Bila dilakukan pada wanita dibawah 40 tahun, 50 persen kemungkinan hasilnya adalah false positive. Ini menyebabkan wanita ini harus melakukan biopsi (diambil sedikit jaringan) pada payudaranya untuk pemeriksaan lanjutan. Dan akhirnya dari pemeriksaan PA (patologis anatomis) biopsi ini dinyatakan dia bebas kanker, namun payudaranya sudah terlanjur ’penyok’ (disfigured).Atau pemeriksaan/skrining untuk kemungkinan adanya kanker prostat pada pria. Untuk itu dilakukan pemeriksaan laboratorium darah dengan mengukur PSA (prostate-specific antigen). PSA yang tinggi diindikasikan sebagai adanya kanker pada prostat. Namun celakanya PSA ini juga amat sering memberi hasil false positive. Padahal PSA yang positif mengamanatkan dokter untuk melakukan biopsi pada jaringan prostat. Bahkan tak jarang dokter sekalian mengoperasi (remove) prostat ini demi tak mau mengambil resiko. Tentu akan sangat menyedihkan bilamana didapatkan bahwa sesungguhnya prostat ini sehat-sehat saja, tetapi apa lacur sudah ’kadung’ dienyahkan.


Kesimpulan yang boleh diambil, medical checkup harus dikembalikan kepada maksud dan tujuan utama yaitu untuk ’pencegahan’. Pepatah prevention is better than curememang sering dijadikan andalan institusi kesehatan untuk menggiring kita melakukanmedical checkup selengkap dan sesering mungkin. Namun apalah gunanya hasil tes ini, kalau tidak dapat digunakan untuk tujuan preventif tadi. Dokter juga sering ’menyalahgunakan’ checkup ini untuk melindungi dirinya yang dikenal dengan istilahdefensive medicine. Dokter akan memerintahkan beraneka ragam tes-tes yang tidak perlu dengan pertimbangan supaya dia tidak dituntut, kalau di kemudian hari pengobatan yang dia berikan bermasalah. Jauh lebih bermanfaat kalau dokter menggalakkan upaya prevensi ini dengan memberi penyuluhan tentang pola hidup sehat, pola makan yang sehat dan olahraga.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar